“Saya hampir stres. Tidak terbayang,” ujar Infak Insaswar Mayor mengingat hari-hari pertamanya di Kampung Wau dan Weyaf, Distrik Abun, Kabupaten Tambrauw, Papua Barat. Sarjana Sastra Inggris ini terkaget-kaget dengan suara keras dari anak-anak lokal di desa tersebut.
Sebagai bagian dari tim Pendamping Lapang yang direkrut oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Universitas Papua (Unipa), Infak memang diharuskan untuk berada di tengah-tengah masyarakat. Termasuk berada di Kampung Wau dan Weyaf yang berada di pelosok Kabupaten Tambrauw.
Kabupaten Tambrauw dapat ditemukan di sisi paling atas Kawasan Kepala Burung, tepat dipucuk kepala burung tersebut. Kabupaten ini berada di antara dua kota besar di Provinsi Papua Barat, yaitu Sorong dan Manokwari. Dari pusat Kabupaten Tambrauw dibutuhkan sekitar 6 jam perjalanan darat untuk sampai di lokasi program LPPM Unipa, tempat Infak dan kawan-kawannya yang lain bekerja. Jika kondisi hujan deras yang memicu longsor dan pohon rubuh maka perjalanan dihitung dengan satuan hari, bukan jam karena waktu tempuhnya yang lama.
Berada jauh dari hiruk pikuk perkotaan dan berada di daerah terpencil memberikan tantangan tersendiri bagi para perempuan di tim Pendamping Lapang LPPM UNIPA.
“Tambrauw adalah tempat saya lahir, tetapi besar di Manokwari. Jadi kenapa tidak kembali ke tanah kelahiran saya,” kata Infak menjelaskan alasannya mendedikasikan diri di daerah terpencil. “Saya ingin bisa bekerja langsung di masyarakat” ujar perempuan yang baru saja lulus di tahun 2019 itu. Dalam program yang didanai oleh Blue Abadi Fund, salah satu tugas Infak adalah mengajar bahasa Inggris pada warga lokal dan beberapa materi pelajaran lain. Pendidikan menjadi elemen penting dalam peningkatan kapasitas masyarakat. Namun, guru adalah kemewahan di lokasi program LPPM UNIPA.
“Tugas kita mengajar di sekolah, kemudian di rumah belajar. Saya terpanggil karena disana susah guru,” jelas Maria Meidiana Rellyubun, rekan Infak yang lebih dulu bergabung dalam tim Pendamping Lapang LPPM UNIPA. Wanita yang akrab disapa Mia ini sudah bergabung sejak tahun 2018. “Banyak pemuda yang keluar kampung tapi kembali lagi karena merasa malu pendidikannya rendah,” ujar wanita yang mengantongi gelar Sarjana Kehutanan itu.
Keprihatinan soal kondisi pendidikan di Wau dan Weyaf atau kampung Saubeba membuat Mia rela tidak bisa setiap saat bersama suaminya. Dia harus berada di lokasi program berbulan-bulan untuk mengajar anak-anak lokal dan juga mengajar wanita-wanita di kampung-kampung itu untuk mengolah minyak kelapa dengan lebih baik dan membuat noken.
LPPM UNIPA menyadari bahwa kemiskinan dan rendahnya pendidikan menjadi hambatan konservasi penyu yang dilakukan di kawasan konservasi Pantai Jeen Womom. Oleh karena itu, pemberdayaan masyarakat di sekitaran kawasan pesisir menjadi sangat penting. Berbekal program dengan pendanaan dari Blue Abadi Fund (BAF), LPPM UNIPA berusaha meningkatkan taraf hidup dan pendidikan masyarakat Abun di lima kampung di Distrik Abun: Saubeba, Womom, Warmandi, Wau, dan Weyaf.
Dalam upaya pemberdayaan tersebut, peran perempuan menjadi sangat penting. Kartika Zohar, Kordinator Program LPPM UNIPA menjelaskan bahwa melibatkan perempuan sebagai tim Pendamping Lapang akan memberikan dampak positif pada program. Seperti misalnya pendekatan yang lebih lembut dalam negosiasi dan pemecahan masalah, serta pendampingan pada ibu-ibu yang lebih efektif.
Para ibu di lokasi program diajarkan untuk bisa membuat noken (tas tradisional papua dari hasil kerajinan anyaman). “Kami ajarkan dari tidak bisa sama sekali sampai bisa,” kata Tika. Tidak hanya dengan noken, tim LPPM Unipa juga mengajarkan para ibu untuk mengolah minyak kelapa hingga memiliki standar yang baik dengan harga jual relatif lebih tinggi. Hasilnya, baik melalui noken maupun penjualan minyak kelapa, beberapa ibu sudah mampu membiayai anaknya sekolah untuk mengejar pendidikan yang lebih tinggi.
“Saya berharap warga Papua bisa lebih sejahtera dan mandiri,” tambah wanita yang sudah bekerja bersama masyarakat sejak tahun 2012 itu.