Homepage

Syarifudin Sabonama untuk Sungai Remu
Syarifudin Sabonama duduk menunggu di salah satu sudut ruangan di Kantor Kepala Dinas Pendidikan Kota Sorong. Pagi itu, dia buru-buru mengganti pakaian dan berangkat menuju kantor tersebut. Pukul 10.00 pagi dia sudah rapi menunggu. Alasan dia begitu bergegas pergi adalah pertemuannya dengan seorang ibu penjual pisang goreng. "Tante, ini sudah jam 9, anak-anak harusnya sekolah," ujarnya pada janda beranak empat itu. Ibu tersebut hanya tersenyum. Lalu dilanjutkan dengan cerita soal jutaan rupiah yang harus dikeluarkan untuk menyekolahkan anaknya. "Kalau sudah ada uang baru mereka sekolah," jawab ibu itu. Jawaban ibu itu begitu menusuk hati Syarifudin. Dia yang sudah berkeliling kesana kemari, berkarir hebat di dunia lingkungan, tetapi masih memiliki tetangga yang sulit sekolah. Seharusnya pendidikan bisa diakses semua orang. Ingin mencoba mendapatkan penjelasan soal pendidikan ini, dia buru-buru pergi ke Kantor Kepala Dinas Pendidikan Kota Sorong. Waktu terus berjalan, lulusan Fakultas Hukum itu, masih sabar menunggu. Hingga pukul 1.30 siang, dia baru dipersilahkan masuk. Petinggi salah satu organisasi internasional itu hanya diberikan waktu beberapa menit saja. Bahkan sang empunya kantor tidak melihat wajah Syarifudin ketika berbicara. Padahal dia sedang ingin menyampaikan soal betapa mahalnya pendidikan di Kota Sorong yang membuat sulit anak-anak miskin untuk sekolah. Detik itu, Syarifudin bertekad untuk membuat perubahan di kotanya, Kota Sorong. Pada tahun 2014, dia maju mencalonkan diri sebagai anggota dewan melalui Partai Amanat Nasional. Meskipun sempat tidak masuk dalam daftar calon, tetapi takdir justru membuatnya menang dan terpilih. Saat ini, Syarifudin sudah pada periode keduanya. Ketika menjadi Anggota Dewan, dia tidak hanya menemui kembali Kepala Dinas Pendidikan itu, tetapi coba membuat perubahan dalam bidang pendidikan di Kota Sorong. Tidak hanya itu saja, latar belakang aktivisme di bidang lingkungan juga dia dorong. Komunitas Peduli Sungai Remu dia bangun untuk bisa menyelamatkan sungai yang menjadi nadi Kota Sorong itu. Berjuang sendirian di DPRD, dia berupaya menyehatkan kembali Sungai Remu yang sudah penuh sampah. Bersama komunitasnya dia menyadarkan masyarakat untuk tidak membuang sampah ke sungai. Kemudian pemerintah dia dorong untuk bisa membangun fasilitas tempat pembungan sampah sementara. Bahkan, puncaknya, sebuah kawasan di dekat Swiss Bell Hotel Sorong, yang sebelum menjadi kubangan sampah, dia sulap menjadi ruang terbuka untuk publik. Dia tidak sendiri, banyak elemen yang membantunya saat itu. Tetapi sebuah gerakan, harus dimulai dengan seorang leader yang mau bergerak.
Saat Pemburu Menjadi Pemandu
Siapa yang tidak kenal dengan Cendrawasih. Keindahan dan keanggunan wujudnya membuat manusia menyematkan julukan si burung surga. Namun, keserakahan manusia juga yang membuat burung dari Tanah Papua ini menjadi langka. Seakan tidak puas dengan memandang kecantikannya saja, sudah sejak lama tangan-tangan tak bertanggungjawab ingin mengambilnya dari alam. Kompas sempat menuliskan bahwa dahulu, di sekitar tahun 1900 sampai 1930, burung dengan warna kuning mencolok ini pernah diburu besar-besaran untuk pasar Eropa. Milenia telah berganti, tapi perburuan burung Cendrawasih masih saja terdengar. Beragam upaya telah dilakukan untuk melindungi burung ini. Tidak hanya pada spesiesnya tetapi juga pada alam di sekitarnya. Termasuk di Kampung Aisandami di Teluk Wondama, Papua Barat. Saat ini, kawasan tersebut sedang dilindungi warganya dengan sebuah upaya ekowisata. "Burung Cendrawasih mau kita lindungi," tegas Melania Hegemur, Bendahara Ekowisata Kampung Aisandami. Ide pembuatan ekowisata muncul atas kesadaran para warga. Dimulai sejak tahun 2016 setelah masyarakat mendapatkan serangkaian pendidikan lingkungan oleh WWF. Inisiatif ini kemudian berkembang dan merangkul berbagai elemen di masyarakat. "Kita mau ajak masyarakat, agar mereka sadar bahwa ini untuk anak cucu mereka nanti," kata Melania mengingat masa-masa awal mensosialisasikan ide ekowisata itu. Karena belum memahami manfaatnya, pada awalnya tidak banyak masyarakat yang ingin terlibat. Namun, setelah kurang lebih tiga tahun membangun kesadaran di masyarakat, inisiatif ini mulai berbuah manis. "Bahkan sekarang sudah ada 3 orang pemburu yang menjadi pemandu," ujar Melania. Para mantan pemburu burung Cendrawasih itu sadar bahwa jika burung dari surga itu terus diburu dan menjadi hilang di alam, maka tidak akan ada tamu yang datang ke Kampung ekowisata Aisandami. Salah satu daya tarik Kampung Aisandami adalah dibangunnya lokasi pengamatan burung Cendrawasih. Para pengunjung akan ditemani pemandu yang dahulunya adalah pemburu untuk dapat lebih dalam memahami keindahan burung dari surga tersebut. "Sekarang bapak yang dulu pemburu itu sudah punya homestay dan mendapat manfaat dari ekowisata," jelas Melania. Kampung Aisandami berada di lahan seluas kurang lebih 700ha dan dihuni sekitar 130 kepala keluarga. Berjarak 2 jam perjalanan darat dari Wasior, para pengunjung dapat menikmati beragam kegiatan wisata alam. Pemandu yang berasal dari warga lokal akan selalu siap mengantarkan pengunjung menyusuri jalur trekking mangrove, menyelami keindahan bawah laut, atau mendayung perahu kecil untuk menikmati indahnya potensi bahari di daerah itu. Selain itu, untuk mengisi perut disela-sela kegiatan wisata, pengunjung dapat mencicipi sagu kelapa, olahan buah hitam, kerupuk teripang, dan makanan khas lain. Kerajinan-kerajinan tangan asli buatan warga juga siap untuk diboyong pulang. Melalui dukungan dana dari Blue Abadi Fund (BAF) Kampung Aisandami dapat membangun pos pengamatan burung Cendrawasih, jalur trekking mangrove, dan melakukan promosi paket-paket wisata yang ditawarkan. Selain itu, peningkatan kapasitas masyarakat dan peningkatan kualitas kerajinan tangan juga turut dilakukan.
Kaum Ibu dan Konservasi di Tambrauw
"Saya dengar cerita ada ibu yang sudah bisa mengirim uang untuk anaknya sekolah di Sorong," ujar Kartika Zohar dari LPPM (Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat) Universitas Papua (UNIPA). Pemberdayaan masyarakat melalui kaum ibu menjadi salah satu kunci keberlanjutan konservasi. Sejak 2010, LPPM UNIPA sudah terjun ke masyarakat dan menyadari bahwa kegiatan konservasi yang dilakukan di Kabupaten Tambrauw harus diikui dengan pemberdayaan masyarakat di dalamnya. Survei yang mereka lakukan kala itu menunjukkan bahwa beberapa program konservasi justru tidak memberikan manfaat pada masyarakat. "Hanya untuk penyu saja, kata masyarakat waktu itu," ujar Kartika mengingat masa-masa awal turun ke lapangan. Dalam konteks konservasi, Kabupaten Tambrauw memang memiliki fungsi yang signifikan. Terutama Pantai Jeen Womom yang masih menjadi tempat peneluran satu-satunya bagi penyu terbesar di dunia, Penyu Belimbing. Lestarinya kawasan tersebut tidak hanya berguna bagi Papua Barat saja, tetapi bagi dunia. Oleh karena itu, untuk memastikan konservasi terus berjalan, masyarakat harus dapat dilibatkan dan mendapatkan manfaatnya. Berangkat dari pentingnya peran masyarakat itu, LPPM UNIPA terus menerus hadir dan berusaha meningkatkan taraf hidup masyarakat, baik dari sisi sosial, budaya, maupun ekonomi. Hingga akhirnya menjadi mitra Blue Abadi Fund, LPPM UNIPA telah bekerja bersama masyarakat  Abun di lima kampung di Distrik Abun. Yaitu, Kampung Saubeba, Kampung Womom, Kampung Warmandi, Kampung Wau, dan Kampung Weyaf. Bersama dengan kaum ibu, tim pendamping dari LPPM UNIPA telah berhasil meningkatkan kualitas minyak kelapa. Peningkatan tersebut tentunya mengubah harga jual minyak kelapa yang sebelumnya hanya Rp 20.000 per liter menjadi Rp. 25.000 per liter. Kenaikan ini sangat signifikan bagi warga kampung. "Selama bersama BAF, kita menghasilkan setidaknya 1000 liter minyak kelapa," kata Kartika. Selain itu, kaum ibu ini juga diajarkan cara membuat noken. Pada awalnya, tim pengajar dari Wamena diturunkan untuk memandu para ibu ini. Selama satu tahun berproses, ibu-ibu di lima kampung tersebut sudah mahir dan dapat menjual produknya. "Uang yang mereka dapat itu sangat berharga, bisa bantu untuk kirim ke anaknya yang sekolah," ungkap Kartika. Menyadari bahwa konservasi dapat memberikan manfaat, masyarakat kemudian ikut aktif menjaga pantai di sekitarnya. Secara tidak langsung mereka telah membantu melestarikan tempat peneluran Penyu Belimbing disana.
Women and Conservation in Tambrauw
"I heard the story of a mother who was able to send money for her child to study in Sorong," said Kartika Zohar from the LPPM (Institute for Research and Community Empowerment), University of Papua (UNIPA). Community empowerment through mothers is one of the keys to sustainable conservation. Since 2010, LPPM UNIPA has been involved in the community and realizes that conservation activities carried out in Tambrauw Regency must be followed by community empowerment in it. The survey they conducted at that time showed that some conservation programs did not provide benefits to the community. "Only for turtles, said the community at that time," said Kartika, remembering the early days of going to the field. In the context of conservation, Tambrauw Regency does have a significant function. Especially Jeen Womom Beach which is still the only spawning ground for the world's largest turtle, the leatherback turtle. The preservation of the area is not only useful for West Papua, but for the world. Therefore, to ensure conservation continues, the community must be involved and get the benefits. Departing from the important role of the community, LPPM UNIPA continues to be present and tries to improve the standard of living of the community, both from the social, cultural and economic side. Until finally becoming a partner of the Blue Abadi Fund, LPPM UNIPA has worked with the Abun community in five villages in Abun District. Namely, Saubeba Village, Womom Village, Warmandi Village, Wau Village, and Weyaf Village. Together with mothers, the companion team from LPPM UNIPA has succeeded in improving the quality of coconut oil. This increase certainly changes the selling price of coconut oil, which was previously only Rp. 20,000 per liter, to Rp. 25,000 per liter. This increase is very significant for villagers. "During our time with BAF, we produced at least 1000 liters of coconut oil," said Kartika. In addition, these mothers were also taught how to make noken. At first, the teaching team from Wamena was dispatched to guide these mothers. During one year of processing, the women in the five villages are already proficient and can sell their products. "The money they get is very valuable, it can help send it to their children who are in school," said Kartika. Realizing that conservation can provide benefits, the community then takes an active part in protecting the surrounding beaches. Indirectly they have helped preserve the leatherback turtle nesting site there.
Syarifudin Sabonama for the Remu River
Syarifudin Sabonama sat waiting in one corner of the room at the Office of the Head of the Sorong City Education Office. That morning, he hurriedly changed clothes and headed for the office. At 10.00 am he was neatly waiting. The reason he was so hurried away was his meeting with a woman selling fried bananas. "Tante, it's 9 o'clock, the children should go to school," he said to the widow with four children. The mother just smiled. Then proceed with the story about the millions of rupiah that must be spent to send their children to school. "If there is money they will go to school," the mother replied. The mother's answer pierced Syarifudin's heart. He who has traveled here and there, has a great career in the environmental world, but still has neighbors who have difficulty attending school. Education should be accessible to everyone. Wanting to try to get an explanation about this education, he hurriedly went to the Office of the Head of the Sorong City Education Office. Time is running out, the graduate of the Faculty of Law, is still waiting patiently. Until 1.30pm, he was just welcome in. The officials of one of the international organizations were only given a few minutes. Even the owner of the office did not see Syarifudin's face when he spoke. Even though he is in the midst of conveying the question of how expensive education is in Sorong City which makes it difficult for poor children to go to school. At that instant, Syarifudin was determined to make changes in his city, the City of Sorong. In 2014, he ran for a board member through the National Mandate Party. Even though he was not on the list of candidates, fate made him win and get elected. Currently, Syarifudin is already in his second term. When he became a Council Member, he not only met the Head of the Education Office again, but tried to make changes in the education sector in Sorong City. Not only that, he also encouraged a background in environmental activism. He built the Remu River Care Community to be able to save the river which is the pulse of Sorong City. Struggling alone in the DPRD, he tries to make the Remu River healthy again, which is already full of trash. Together with his community, he made people aware not to throw garbage into the river. Then he pushed the government to be able to build a temporary garbage disposal facility. In fact, the peak is an area near the Swiss Bell Hotel Sorong, which before it became a garbage dump, he turned into an open space for the public. He was not alone, many elements helped him at that time. But a movement, must start with a leader who is willing to move.