Tutup Sasi di Pulau Wayag Tandai Komitmen Perlindungan Keanekaragaman Hayati di Kawasan Raja Ampat

Raja Ampat – Upacara adat tutup Sasi tandai komitmen masyarakat Kawe dari Kampung Salpele dan Salio untuk melindungi kawasan disekitarnya. “Kita berharap, semua yang dilakukan masyarakat adat suku Kawe adalah demi masa depan anak cucu mereka nanti. Mereka tidak hanya menjadi penonton tetapi mereka menjadi pelaku pengelola yang mampu mengelola kawasan wayag,” ujar Ketua Dewan Adat Suku Maya Raja Ampat, Kristian Thebu, di sela-sela acara adat tersebut.

Pada 3 November 2020 di Pulau Wayag, masyarakat telah menggelar upacara adat tutup Sasi. Kegiatan tutup Sasi ini dihadiri oleh Ketua Adat Suku Maya, Plt Bupati Raja Ampat, Kapolres Raja Ampat, Kasad Polisi Air Raja Ampat, BKKPN Kupang Wilker Raja Ampat, PSDKP Wilker Raja Ampat, Blud KKPD Raja Ampat, Balai Besar KSDA Papua Barat, Yayasan Terumbu Karang Indonesia, Fauna Flora International dan Yayasan Nazaret Papua. Bersamaan dengan acara adat tersebut, ditetapkan pula Peraturan Adat yang mengatur tentang perlindungan ekosistem biota laut di Pulau Wayag dan pulau-pulau sekitarnya.

Sasi adalah sebuah kearifan lokal yang secara turun temurun dilakukan untuk menjaga keseimbangan alam suatu kawasan. Isitilah ini merujuk pada periodisasi pemanfaatan keanekaragaman hayati di wilayah tersebut. Ketika masyarakat bersepakat melakukan tutup Sasi, maka tidak ada yang boleh mengambil biota-biota laut tertentu di kawasan yang telah disepakati. Dalam konteks wilayah Raja Ampat, biota-biota penting itu diantaranya penyu, lola, kima, teripang, dan lobster.

“Yang menjadi dasar kita mendorong sasi ini di Wayag (kawasan Raja Ampat) karena banyak pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di tempat ini. Baik dari dalam masyarakat adat itu sendiri maupun dari luar. Terutama pada biota-biota yang sangat penting, seperti penyu, lola, udang, taripang,” ungkap Kristian Thebu. Meskipun Pulau Wayag dan pulau-pulau di sekitarnya yang masuk dalam kawasan Raja Ampat telah menjadi kawasan konservasi. Namun, pelanggaran-pelanggaran yang merusak kesimbangan alam tetap saja terjadi. “Percuma ada kawasan konservasi, tapi orang masih melakukan pelanggaran,” tegasnya.

Oleh karena itu, masyarakat melalui elemen-elemen dewan adat, agama, dan pemerintah daerah bersepakat untuk mendorong dilakukannya sasi. Tidak hanya itu saja, kearifan lokal ini juga sedang diperkuat dengan peraturan adat. Sehingga memiliki kekuatan yang mengatur masyarakat dalam upaya perlindungan dan pemanfaatan sebuah kawasan konservasi.

Categories: