Saat Pemburu Menjadi Pemandu

Siapa yang tidak kenal dengan Cendrawasih. Keindahan dan keanggunan wujudnya membuat manusia menyematkan julukan si burung surga. Namun, keserakahan manusia juga yang membuat burung dari Tanah Papua ini menjadi langka.

Seakan tidak puas dengan memandang kecantikannya saja, sudah sejak lama tangan-tangan tak bertanggungjawab ingin mengambilnya dari alam. Kompas sempat menuliskan bahwa dahulu, di sekitar tahun 1900 sampai 1930, burung dengan warna kuning mencolok ini pernah diburu besar-besaran untuk pasar Eropa. Milenia telah berganti, tapi perburuan burung Cendrawasih masih saja terdengar.

Beragam upaya telah dilakukan untuk melindungi burung ini. Tidak hanya pada spesiesnya tetapi juga pada alam di sekitarnya. Termasuk di Kampung Aisandami di Teluk Wondama, Papua Barat. Saat ini, kawasan tersebut sedang dilindungi warganya dengan sebuah upaya ekowisata.

“Burung Cendrawasih mau kita lindungi,” tegas Melania Hegemur, Bendahara Ekowisata Kampung Aisandami. Ide pembuatan ekowisata muncul atas kesadaran para warga. Dimulai sejak tahun 2016 setelah masyarakat mendapatkan serangkaian pendidikan lingkungan oleh WWF.

Inisiatif ini kemudian berkembang dan merangkul berbagai elemen di masyarakat. “Kita mau ajak masyarakat, agar mereka sadar bahwa ini untuk anak cucu mereka nanti,” kata Melania mengingat masa-masa awal mensosialisasikan ide ekowisata itu. Karena belum memahami manfaatnya, pada awalnya tidak banyak masyarakat yang ingin terlibat. Namun, setelah kurang lebih tiga tahun membangun kesadaran di masyarakat, inisiatif ini mulai berbuah manis.

“Bahkan sekarang sudah ada 3 orang pemburu yang menjadi pemandu,” ujar Melania. Para mantan pemburu burung Cendrawasih itu sadar bahwa jika burung dari surga itu terus diburu dan menjadi hilang di alam, maka tidak akan ada tamu yang datang ke Kampung ekowisata Aisandami.

Salah satu daya tarik Kampung Aisandami adalah dibangunnya lokasi pengamatan burung Cendrawasih. Para pengunjung akan ditemani pemandu yang dahulunya adalah pemburu untuk dapat lebih dalam memahami keindahan burung dari surga tersebut. “Sekarang bapak yang dulu pemburu itu sudah punya homestay dan mendapat manfaat dari ekowisata,” jelas Melania.

Kampung Aisandami berada di lahan seluas kurang lebih 700ha dan dihuni sekitar 130 kepala keluarga. Berjarak 2 jam perjalanan darat dari Wasior, para pengunjung dapat menikmati beragam kegiatan wisata alam. Pemandu yang berasal dari warga lokal akan selalu siap mengantarkan pengunjung menyusuri jalur trekking mangrove, menyelami keindahan bawah laut, atau mendayung perahu kecil untuk menikmati indahnya potensi bahari di daerah itu.

Selain itu, untuk mengisi perut disela-sela kegiatan wisata, pengunjung dapat mencicipi sagu kelapa, olahan buah hitam, kerupuk teripang, dan makanan khas lain. Kerajinan-kerajinan tangan asli buatan warga juga siap untuk diboyong pulang.

Melalui dukungan dana dari Blue Abadi Fund (BAF) Kampung Aisandami dapat membangun pos pengamatan burung Cendrawasih, jalur trekking mangrove, dan melakukan promosi paket-paket wisata yang ditawarkan. Selain itu, peningkatan kapasitas masyarakat dan peningkatan kualitas kerajinan tangan juga turut dilakukan.

Categories: