Kaum Ibu dan Konservasi di Tambrauw

“Saya dengar cerita ada ibu yang sudah bisa mengirim uang untuk anaknya sekolah di Sorong,” ujar Kartika Zohar dari LPPM (Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat) Universitas Papua (UNIPA). Pemberdayaan masyarakat melalui kaum ibu menjadi salah satu kunci keberlanjutan konservasi.

Sejak 2010, LPPM UNIPA sudah terjun ke masyarakat dan menyadari bahwa kegiatan konservasi yang dilakukan di Kabupaten Tambrauw harus diikui dengan pemberdayaan masyarakat di dalamnya. Survei yang mereka lakukan kala itu menunjukkan bahwa beberapa program konservasi justru tidak memberikan manfaat pada masyarakat. “Hanya untuk penyu saja, kata masyarakat waktu itu,” ujar Kartika mengingat masa-masa awal turun ke lapangan.

Dalam konteks konservasi, Kabupaten Tambrauw memang memiliki fungsi yang signifikan. Terutama Pantai Jeen Womom yang masih menjadi tempat peneluran satu-satunya bagi penyu terbesar di dunia, Penyu Belimbing. Lestarinya kawasan tersebut tidak hanya berguna bagi Papua Barat saja, tetapi bagi dunia. Oleh karena itu, untuk memastikan konservasi terus berjalan, masyarakat harus dapat dilibatkan dan mendapatkan manfaatnya.

Berangkat dari pentingnya peran masyarakat itu, LPPM UNIPA terus menerus hadir dan berusaha meningkatkan taraf hidup masyarakat, baik dari sisi sosial, budaya, maupun ekonomi. Hingga akhirnya menjadi mitra Blue Abadi Fund, LPPM UNIPA telah bekerja bersama masyarakat  Abun di lima kampung di Distrik Abun. Yaitu, Kampung Saubeba, Kampung Womom, Kampung Warmandi, Kampung Wau, dan Kampung Weyaf.

Bersama dengan kaum ibu, tim pendamping dari LPPM UNIPA telah berhasil meningkatkan kualitas minyak kelapa. Peningkatan tersebut tentunya mengubah harga jual minyak kelapa yang sebelumnya hanya Rp 20.000 per liter menjadi Rp. 25.000 per liter. Kenaikan ini sangat signifikan bagi warga kampung. “Selama bersama BAF, kita menghasilkan setidaknya 1000 liter minyak kelapa,” kata Kartika.

Selain itu, kaum ibu ini juga diajarkan cara membuat noken. Pada awalnya, tim pengajar dari Wamena diturunkan untuk memandu para ibu ini. Selama satu tahun berproses, ibu-ibu di lima kampung tersebut sudah mahir dan dapat menjual produknya. “Uang yang mereka dapat itu sangat berharga, bisa bantu untuk kirim ke anaknya yang sekolah,” ungkap Kartika.

Menyadari bahwa konservasi dapat memberikan manfaat, masyarakat kemudian ikut aktif menjaga pantai di sekitarnya. Secara tidak langsung mereka telah membantu melestarikan tempat peneluran Penyu Belimbing disana.

Categories:

Women and Conservation in Tambrauw

“I heard the story of a mother who was able to send money for her child to study in Sorong,” said Kartika Zohar from the LPPM (Institute for Research and Community Empowerment), University of Papua (UNIPA). Community empowerment through mothers is one of the keys to sustainable conservation.

Since 2010, LPPM UNIPA has been involved in the community and realizes that conservation activities carried out in Tambrauw Regency must be followed by community empowerment in it. The survey they conducted at that time showed that some conservation programs did not provide benefits to the community. “Only for turtles, said the community at that time,” said Kartika, remembering the early days of going to the field.

In the context of conservation, Tambrauw Regency does have a significant function. Especially Jeen Womom Beach which is still the only spawning ground for the world’s largest turtle, the leatherback turtle. The preservation of the area is not only useful for West Papua, but for the world. Therefore, to ensure conservation continues, the community must be involved and get the benefits.

Departing from the important role of the community, LPPM UNIPA continues to be present and tries to improve the standard of living of the community, both from the social, cultural and economic side. Until finally becoming a partner of the Blue Abadi Fund, LPPM UNIPA has worked with the Abun community in five villages in Abun District. Namely, Saubeba Village, Womom Village, Warmandi Village, Wau Village, and Weyaf Village.

Together with mothers, the companion team from LPPM UNIPA has succeeded in improving the quality of coconut oil. This increase certainly changes the selling price of coconut oil, which was previously only Rp. 20,000 per liter, to Rp. 25,000 per liter. This increase is very significant for villagers. “During our time with BAF, we produced at least 1000 liters of coconut oil,” said Kartika.

In addition, these mothers were also taught how to make noken. At first, the teaching team from Wamena was dispatched to guide these mothers. During one year of processing, the women in the five villages are already proficient and can sell their products. “The money they get is very valuable, it can help send it to their children who are in school,” said Kartika.

Realizing that conservation can provide benefits, the community then takes an active part in protecting the surrounding beaches. Indirectly they have helped preserve the leatherback turtle nesting site there.

Categories: